Sometimes I miss the busy, frantic, hectic life in the city. Sometimes there’s a side of me that resonate to that busyness.
Dan aku menggapai, terjatuh dan tergulung oleh kota itu.
Ada sebuah abnormalitas yang membeku di setiap mata yang kupandang. Sebuah sensasi kesepian yang tak kunjung terjelaskan. Rasa sepi di tengah keramaian. Rasa dingin di antara pijar lampu yang menyelimuti kota.
The night is never too dark in the city. There are thousand lights surrounding it. It’s a sure sign that it never sleep.
Beberapa orang tampak sedang bercengkerama di balik kaca-kaca café yang buka. Sosok-sosok temaram sedang berseliweran di jalan-jalan di depan mereka. Para pegawai toko yang menanti jemputan. Wajah-wajah lelah yang menantang ibukota. Para penjual makanan dan warung yang hanya buka di malam hari. Para supir taksi yang sedang santai menikmati rokoknya. Tukang-tukang ojek yang sedang menawarkan tumpangan kepada para pegawai tadi.
And at another corner. The dark side of the night…
Para ‘penjaja’ malam sedang berdiri di sebrang jalan. Menanti. Mengintai. Mengawasi dan diawasi. Dibalik senyum palsu dan gairah semu, apa yang sebenarnya mereka rasakan? Sebuah drive that was purely economic-kah?
Another survival technique that one has to develop to live in a crazy city like this one?
Sebuah ruang bisu yang menanti untuk disentuh oleh kebaikan? Sebuah jejak rekam nyata atas kemiskinan structural? Gaya hidup yang semakin permisif? Labirin semu dalam sebuah kota yang tak lagi punya hati bagi warganya?
But I love them too. I embrace them as well.
Rasanya kota ini telah berkali-kali membunuhku. Ia telah berpuluh-puluh kali melemparkanku ke udara lalu melindasku tanpa ampun. Apalagi sekarang ia telah berubah menjadi semi-venice (hahaha…) dengan banyaknya banjir. Ia telah renta, dan (semakin) tak sahabat. Jadi inget penggalan lagu Red Hot Chilli Pepper, Under the Bridge:
Sometimes I feel like I don’t have a partner,
Sometimes I feel like, my only friend
Is the city I live in, the city of angels
Lonely as I am,
Together we cry…